MUNJONG : IKON BUDAYA DAYAK TOBAG

Dalam Raker DAD Kec. Tayan Hilir pada  Sabtu, 15 Februari 2020, muncul ide dan diskusi serius tentang ikon budaya suatu daerah atau suku di kecamatan Tayan Hilir. Diskusi hangat ini terjadi karena dua hal.

Munjong Dayak Tobag
Munjong Dayak Tobag

  1. Pertama, muncul kegalauan yang melanda batin masyarakat Dayak di kecamatan Tayan Hilir atas  pencaharian  identitas budaya yang belum menemukan diri sejati. Sebenarnya diri sejati itu sudah ada secara alamiah bersamaan dengan adanya budaya itu sendiri, tetapi belum mendapat legitimasi publik.
  2. Kedua,  kerinduan dan harapan yang ditaruhkan pada DAD untuk menggali, mengidentifikasi, dan memproklamasi diri sejati itu di ranah publik, agar diakui dan disejajarkan dengan budaya lain, sehingga akhirnya menjadi ikon budaya yang dapat dibanggakan.

Berdasarkan situasi tersebut, kami coba menggali kebudayaan Dayak Tobag karena basis kultural dan pengalaman interaksi budaya. Kebudayaan Dayak Tobag yang ingin kami gali adalah Munjong, yang merupakan tradisi tertua, mempunyai nilai religiositas yang dalam, dan masih dihidupi oleh generasi milenial saat ini. Sebuah kebudayaaan tertentu dapat menjadi ikon budaya  melalui suatu proses verifikasi antropologis, karena ikon budaya adalah sebuah artifak yang diidentifikasikan oleh para anggota dari sebuah budaya sebagai perwakilan dari budaya tersebut. Ikon adalah sesuatu yang khas dan otentik dari budaya yang bersangkutan.  Kalau Munjong mau menjadi ikon budaya, maka harus melalui proses verifikasi untuk memastikan kekhasan dan otensitas yang dimilikinya.

Peribuh
  1. Munjong adalah sebuah upacara yang kompleks, baik dari segi tujuan, ritus, maupun sifat instrisiknya.
    • Tujuan: Upacara munjong diadakan pasca panen, sekitar bulan Mei-Juli. Orang Dayak Tobag sebagai masyarakat agraris, mau menandakan berakhirnya siklus musim bersawah dan berladang, karena bagi orang Dayak tiap bagian dari siklus pertanian selalu ditandai dengan ritual, baik ketika membuka lahan, bertanam atau menugal, sampai memanen. Maka upacara Munjong, salah satu tujuannya adalah untuk mengucap syukur kepada Jebata Pejaji Penompa dan kepada seluruh sengiang yang membantu mereka dalam proses pertanian. Jadi ucapan syukur ini bukan saja untuk hasil panen, tetapi untuk seluruh siklus pertanian yang telah dilalui.
    • Sedangkan tujuan kedua dari Munjong adalah untuk mulang niat (membayar nazar). Setiap peristiwa hidup bagi orang Dayak, bukan terjadi secara kebetulan, tetapi sudah diatur dan dikendalikan oleh Sengiang Jebata(semacam Malaikat dalam agama) yang diberi tugas oleh Jebata Pejaji Penompa untuk mengatur hidup manusia. Oleh karena itu, bila ada gejala-gejala alam tertentu atau kejadian tertentu yang menimpa hidup mereka, maka orang Dayak Tobag berniat (bernazar), supaya mereka terhindar dari malapetaka. Lalu niat atau nazar itu dibayar pada saat munjong sesuai dengan apa yang mereka janjikan.
    • Tujuan ketiga adalah Munjong sebagai tanda berakhirnya kalender tahunan. Kalender tahunan bagi masyarakat agraris mengikuti siklus musim bercocok tanam. Berhuma atau berladang pada masyarakat Tobag jaman dulu hanya satu kali setahun.  Setelah upacara Munjong, maka dimulailah kalender baru, tahun baru dalam siklus pertanian dan dalam kehidupan masyarakat agraris.
  2. Ritual: keseluruhan ritual munjong terdiri tempat, pemimpin, peribuh, pomang (doa), upacara dan pantang.
    • Tempat diselenggarakan upacara munjong disebut PEDAGI. Pedagi adalah tempat atau barang keramat yang dipercaya mempunyai kekuatan gaib. Pedagi merupakan manifestasi dari kehadiran Jebata melalui Keramat Dolat (roh-roh leluhur)
    • Pemimpin upacara disebut Puawang. Puawang ini orang yang mengerti tentang tradisi, adat istiadat, punya aura dan wibawa, serta punya teladan hidup karena dia adalah pemimpin dalam sebuah kegiatan spritual.
    • Peribuh adalah seperangkat materia adat yang berfungsi vital dan krusial dalam ritual munjong, karena berhasil atau tidaknya upacara tergantung pada peribuh tersebut. Selain itu, bila peribuh kurang lengkap maka akan mendatangkan malapetaka, tetapi bila peribuhnya lebih  maka upacara tidak membawa efek yang diinginkan.
    • Pomang adalah istilah dalam bahasa Tobag yang sama artinya dengan doa,  yang dibawakan dengan didaraskan atau dinyanyikan. Pomang tidak bisa dibacakan atau dilafalkan. Ini adalah bagian essensial dan inti dari seluruh upacara. Berpomang menggunakan bahasa asali  yang merupakan bahasa adat dan dianggap mempunyai daya magis. Bahasa ini jauh berbeda dengan bahasa sehari hari yang ada pada jaman ini. Pomang ini didaraskan oleh Puawang sesuai dengan intensi-intensi yang ada.
    • Upacara: upacara munjong dilaksanakan pada siang hari dan puncaknya disebut Nyorah. Nyorah itu bukan artinya menyerah, tetapi tanda upacara selesai. Nyorah dilakukan setelah  posisi matahari melewati titik kulminasi (pukul 12.00 siang). Dalam upacara ini, Puawang bepomang dengan diiringi oleh alat musik adat serta tarian adat Munjong untuk menunjukkan hormat pada Jebata dan pada bagian bagian tertentu peragaan beladiri silat untuk melawan roh roh jahat yang mengganggu. Tarian dan silat ini yang merupakan bagian integral dari upacara tersebut, karena sebagai simbol peperangan antara kebaikan melawan kejahatan.
    • Pantang: pantang adalah sejumlah larangan yang ditetapkan dan diberlakukan setelah jam 24.00 pada hari upacara munjong dilakukan. Tapi praktek saat ini bisa sampai jam 04.00 WIB atau sebelum matahari terbit. Matahari terbit, selain menandakan peralihan waktu, tetapi juga simbol kegelapan yang berganti terang. Pantang ini diberlakukan sampai  7 (Tujuh)  hari setelah upacara dilakukan. Dulu sanksi pelanggaran pantang ini sangat keras, karena menyangkut keamanan dan keselamatan seluruh masyarakat adat setempat.
  3. Komunal Upacara Munjong adalah kegiatan adat istiadat yang dilakukan dan diikuti oleh seluruh komunitas dusun atau desa yang bersangkutan. Keterlibatan bersama ini dimulai dari tahap perencanaan, pembiayaan atau disebut BIRIS, pelaksanaan, dan pasca kegiatan atau Pantang. Seluruh anggota komunitas terlibat dan terikat dalam seluruh rangkaian acara munjong ini.

Setelah meneliti ketiga bagian integral yang terdapat pada upacara munjong, maka dapat disimpulkan bahwa:

  1. Munjong baik dari segi nama, bentuk upacara, dan tujuannya adalah khas dan otentik dari suku Dayak Tobag. Berdasarkan komparasi budaya, tidak ada suku-suku Dayak  lain dan sejauh referensi yang penulis miliki serta ketahui  juga tidak ada kebudayaan suku-suku lain yang ada di Indonesia, baik memakai istilah yang sama maupun  berbeda, mempunyai bentuk dan tujuan upacara yang sama seperti upacara Munjong.
  2. Setelah melakukan verifikasi antropologis, maka tidak diragukan lagi bahwa Munjong merupakan ikon budaya Dayak Tobag.
  3. Sebagai ikon budaya, Munjong tidak serta merta dimaknai sebagai budaya animis. Secara geneologis, Animisme sendiri adalah sebuah term kolonialis dengan tujuan politik. Term ini muncul ketika bangsa-bangsa Eropa melakukan ekspansi keluar benua Eropa. Kaum kolonialis memandang agama hanya sebagai elemen budaya dan bukan agama in se. Maka dengan mengkategorikan kepercayaan tradisional sebagai animisme, kaum kolonialis secara ekplisit menyatakan superioritas budaya barat terhadap budaya non barat. Lalu dalam ekspansi politik dan ekonominya, kolonial juga membawa kaum agamawan dengan tujuan awalnya adalah untuk melayani kelompok internal.

Dalam perkembangannya kaum agamawan dan dalam perjumpaan dengan masyarakat lokal bahwa ini adalah sebuah peluang dan sebuah panggilan kerasulan. Dalam konteks ini,  agama tidak memboncengi atau diboncengi  oleh gerakan kolonialisme, tetapi agama tetap menjaga indenpensinya dalam semangat profetis. Jadi pada dasarnya animisme bukan term teologis dari agama samawi atau agama Abrahamik untuk memaknai kepercayaan tradisional. Animisme sendiri adalah kepercayaan terhadap alam yang bersifat horisontal, yaitu kepercayaan pada roh roh yang mendiami benda benda berupa kayu, batu, besi, dan lain lain.  Sementara orientasi teologis dari upacara Munjong adalah bersifat vertikal, yaitu kepercayaan kepada Jebata Pejaji Penompa (Tuhan yang mencipta segala sesuatu).

Maka di sini Munjong bukanlah kepercayaan animisme. Lalu Masyarakat adat yang menyelenggarakan Munjong tidak bisa serta merta dicap sebagai penganut sinkretisme, karena masyarakat adat penyelenggara Munjong membedakan antara agama dan tradisi. Munjong bukanlah sebuah perpaduan atau campuran antara kepercayaan tradisional dan agama samawi, tetapi sebuah tradisi yang dihayati dan mempunyai nilai-nilai religius (sebuah tataran nilai). Sedangkan  dilihat dari sisi tujuan, Munjong tidak mempunyai tujuan tunggal, tetapi ada tiga tujuan dan di sinilah letak sikap bijak dan kritis dari pemeluk agama.

Posisi Munjong dalam kehidupan masyarakat Tobag bahwa :

  1. Munjong adalah sebuah tradisi atau budaya yang sudah mengalami integrasi kebudayaan dalam kehidupan masyarakat adat yang sudah beragama. Maka secara antropologis, tidak ada kontradiksi antara Munjong sebagai tradisi dan budaya dengan agama sebagai sebuah sistem kepercayaan masyarakat adat. Menanggapi harapan Masyarakat Adat di kecamatan Tayan Hilir, maka menjadi tanggungjawab sosial dan formal DAD Kecamatan Tayan Hilir untuk memproklamirkan dan mempromosikan Munjong sebagai ikon budaya di kecamatan Tayan Hilir melalui event-event budaya agar budaya Munjong dapat dikenal publik dan nilai-nilainya dapat diwariskan dari generasi ke generasi. DAD akan mengambil peran aktif untuk memperkenal ikon budaya Tobag ini melalui Munjong Raya dalam bentuk agenda tahunan.
  2. Sebagai agenda tahunan, Munjong dapat menjadi aset pariwisata budaya, yang bila dikelola secara profesional dan berkesinambungan, akan membawa dampak ekonomi bagi masyarakat setempat, tanpa merusak tatanan budaya dan sosial masyarakat lokal.
  3. Munjong juga dapat menjadi sarana edukasi budaya bagi kaum muda, bila dalam Munjong dipromosikan dan ditampilkan budaya-budaya tradisional yang hampir punah karena kalah bersaing dengan budaya milenial generasi Z jaman ini.

Di sisi lain, Munjong dapat juga dijadikan sebagai event pra gawai dalam mempersiapkan diri untuk mencari bibit, potensi, dan juara dalam bidang bidang  permainan, sehingga mereka dapat menjadi duta-duta Kecamatan Tayan Hilir yang kompetitif dalam pekan gawai kabupaten.

Oleh: Yanto Laung, Ketua DAD Tayan Hilir






Comments