Merasa Miskin Itu Mitos Belaka Oleh R. Maryono SJ

Akhir-akhir ini mood saya kurang baik. Karena itu, saya pergi meditasi ke Huangshan, Anhui, Republik Rakyat Tiongkok. Ada seorang biksu bertanya kepada saya, “Kalau kamu diminta memilih, (kamu pilih) alat pancing atau ikan 500 kilogram?”

R. Maryono SJ

“Saya pilih ikan 500 kilogram,” jawab saya.

Biksu itu geleng-geleng kepala dan mengatakan saya terlalu naif, karena ikan 500 kilogram bisa habis dimakan, sedangkan alat pancing bisa dipakai untuk mencari ikan terus-menerus.

Saya jawab, “Anda tidak mengerti, kalau sekilo ikan itu harganya 50.000, maka saya punya uang 25 juta. Sedangkan alat pancing harganya 500.000, saya bisa beli sepuluh buah seharga lima juta. Lima juta untuk menggaji sepuluh orang yang memancing ikan buat saya. Lima juta saya gunakan untuk sedekah, sisanya saya pakai untuk mengajak teman piknik, dan makan-makan sambil mengawasi sepuluh orang karyawan saya. Nah, hasil memancing bisa saya jual lagi, dapat uang, hobis memancing tersalurkan, bisa sedekah, bisa bersosialisasi dengan teman-teman, membuka lapangan pekerjaan, dan mendapat untung banyak.”

“Siapa kamu?” tanya biksu itu.

“Saya Maryono, SJ, Pastor Paroki Gedangan,” jawab saya.

Begitulah percakapan Rm. Romualdus Maryono, SJ dengan seorang biksu yang dapat dijadikan sebuah ilustrasi tentang kemandekan kreativitas berpikir. Kerap kali aktivitas Gereja sekadar meniru kegiatan lampau yang kadang tak lagi relevan untuk masa sekarang. Bisa jadi, hal ini terjadi karena kemalasan untuk berpikir kreatif dan melahirkan gagasan baru.

“Awalnya, umat selalu mengeluh tidak mampu membuat dan membiayai kegiatan, merasa miskin. Bisa jadi karena dulu di sini sering banjir rob, lalu banyak yang pindah rumah di atas (bukit). Orang yang tidak mampu tetap tinggal disini. Tapi, merasa miskin itu mitos belaka,” terang Rm. Maryono, Pastor Kepala Paroki Santo Yusup, Gedangan, Semarang ini.

Ia lalu melakukan test case dengan meniadakan sembako gratis. Umat diminta untuk membeli seharga 50%. Meski kebijakan ini banyak ditolak dengan alasan banyak umat yang tak mampu, tetapi akhirnya lebih dari 500 paket sembako habis terjual.

“Yang ngamen di sini bisa dapat 40 sampai 50 juta, belum termasuk lewat transfer bank. Jumlah itu sama dengan Paroki Santa Theresia Bongsari Semarang, tempat saya bertugas sebelumnya, yang jumlah umatnya lebih banyak. Sekali lagi, merasa miskin itu hanya mentalitas dan mitos saja,” tegas Rm. Maryono.

Imam yang baru bertugas selama setahun di paroki pesisir Semarang ini meyakini bahwa mitos miskin itu menghambat untuk maju. Sebab, umat selalu merasa ingin dikasihani dan terus meminta bantuan, padahal mereka memiliki kemampuan untuk keluar dari masalah jika mau berusaha.

Meski demikian, Rm. Maryono tidak menampik bila masih ada umat yang sungguh kurang mampu. “Kalau sampai tidak bisa makan, tidak ada. Semua bisa makan tiga kali sehari. Kalau mengalami kekurangan ketika banjir rob, ya, ada. Itu wajib dibantu karena bencana. Yang kesulitan untuk kebutuhan mendesak seperti sakit atau tunggakan biaya sekolah, banyak,” papar imam asal Wonosobo, Jawa Tengah ini.

Melihat realitas demikian, bukannya semakin banyak membagi bantuan, Rm. Maryono justru menghentikan beasiswa bagi 130 anak, santunan kematian, santunan umat kurang mampu, dan sembako.

“Kalau dari usia SD sampai SMA diberi uang dalam jumlah yang sama, itu bagi-bagi uang namanya, bukan beasiswa. Soal santunan kematian, paroki juga tombok terus karena umat tidak tertib iuran, mungkin karena jauh kalau harus setor ke paroki. Maka, sekarang semuanya diatur oleh wilayah. Paroki hanya memberikan modal awal saja. Selebihnya kebutuhan beasiswa, santunan, dan lainnya, hingga iuran rutin, diatur sendiri oleh pengurus,” kata Rm. Maryono.

Dampaknya, pastor yang juga pernah berkarya di Paroki St. Perawan Maria Ratu Blok Q, Jakarta ini mendapat predikat “romo tegelan”. Sebab, meski ada wilayah yang kekurangan dana, ia tetap tidak memberikan. “Paroki tidak akan memberi untuk wilayah yang tidak tertib dan salah manajemen. Mereka ‘kan sudah diberi modal. Kalau diatur dengan baik, pasti lancar seperti yang lainnya,” ujarnya.

Namun, dampak lainnya, umat dimudahkan dalam mengajukan dana dan membayar iuran. Selain itu, mereka juga mampu saling membantu kebutuhan satu sama lain.

“Miskin itu memang benar. Bukan miskin materi, melainkan miskin rohani, miskin relasi. Kalau miskin materi itu bisa terlihat. Tidak bisa makan, misalnya. Tetapi miskin rohani dan relasi itu tidak terlihat, misalnya perasaan kesepian, tidak punya relasi yang baik. Itu ‘kan sulit terlihat dan diungkapkan,” jelas Rm. Maryono.

Untuk membuktikannya, sekali lagi Rm. Maryono membuat test case dengan mengajak umat berziarah. Kala itu, ada satu kelompok yang meminta duduk dalam satu bus. “Itu bukti mereka tidak nyaman satu sama lain, ingin membentuk kelompok eksklusif. Itu saya larang. Kalau mau ikut ya harus nyebar, supaya saling kenal. Kalau temannya banyak, maka rohaninya baik. Kalau rohaninya baik, maka relasi dengan Tuhan juga baik, sehingga pada akhirnya dapat saling membantu,” tutur Rm. Maryono.

Meski menghentikan segala bantuan tunai bagi umat, Rm. Maryono tak kemudian lepas tangan akan kebutuhan umatnya. Bagi umat yang membutuhkan bantuan dana, terlebih untuk tambahan modal usaha, paroki bersedia membayar biaya pendaftaran Credit Union (CU). “Kami mendidik umat agar tak bermental miskin dengan ikut sistem CU. Di CU, umat diajari financial literacy, sehingga mereka lebih melek finansial dan bisa mengatur keuangan keluarga dan bisnis secara lebih baik,” pandang Rm. Maryono.

Melalui CU, Rm. Maryono juga menekankan bahwa berutang bukanlah sesuatu yang buruk. Sebab jika mengumpulkan dana dengan cara menabung, maka ketika dana sudah terkumpul harga untuk belanja modal sudah naik dan usaha jadi terlambat untuk dimulai. “Asal jangan untuk beli kebutuhan tersier,” tegas Rm. Maryono.

Ia telah menyaksikan sendiri bahwa umat yang menggunakan CU sebagai sarana mengembangkan usaha akhirnya bisa berkembang, seperti tukang ojek yang bisa mengganti kendaraan dengan yang lebih baik, atau pedagang rempeyek dan tempe yang usahanya semakin maju. Meski mengembangkan ekonomi kecil dan menengah, Rm. Maryono tak pernah membuat pelatihan-pelatihan untuk menumbuhkan usaha baru.

“Usaha baru itu hanya membuang uang, karena mesti belajar dulu, belum lagi bingung soal pemasaran. Saya pernah membudidayakan jangkrik, tapi bingung menjualnya. Padahal, umat yang ikut terlibat cukup banyak. Maka, lebih baik memberi modal untuk yang sudah berjalan. Ini sama halnya dengan bantuan bagi-bagi kambing untuk dipelihara. Kalau dipelihara oleh yang tidak terbiasa, ya akan mati,” paparnya.

Dalam pengembangan umat, Rm. Maryono menggunakan rumus terkenal Albert Einstein, yaitu E=MC2 dengan istilah yang ia buat sendiri. “Enthusiasm itu akan muncul kalau ada Motivation, Cash, dan C yang kedua, Congratulation, yang berarti penghargaan atau diuwongke, diterima apa adanya. Nah, kita akan fokus pada Congratulation,” sebutnya. Hal itu diwujudkan dengan menghimpun umat agar bersedia mengisi kor dan tugas lain untuk upacara baptisan bayi, sebagai kebiasaan yang sebelumnya tidak terjadi.

“Nokia dulu rajanya handphone. Karena tidak mau pakai Android, akhirnya mereka habis. Begitu juga dengan mal yang mulai sepi, kalah dengan online shop atau fenomena ojek online. Gereja, kalau tidak membuat inovasi, ya akan ditinggalkan umatnya,” papar Rm. Maryono.

Menurutnya, Gereja tidak semestinya hanya mengajarkan kebaikan dan kejahatan, surga dan neraka, tetapi juga mewujudkan ajaran Kristus dengan lebih nyata. “Melalui ekonomi, politik, sosial, dan budaya kita bisa mewujudnyatakan perintah Kristus, sehingga iman tidak sekadar wacana atau teori,” ungkapnya.

Rm. Maryono juga berpikir kritis mengenai kreativitas menggereja di kalangan para imam. “Jangan takut salah, lalu apa-apa tanya Bapak Uskup. Mengembangkan Gereja, ya, mesti kreatif. Kalau salah bisa minta maaf, yang penting berani berbuat sesuatu dulu,” pesannya.

Meski demikian, kreativitas tetap mesti sejalan dengan struktur. “Boleh kreatif, tapi tahu diri, jangan kebablasan. Kalau kreativitasnya baik, mestinya struktur bersedia geser sedikit,” tutupnya.

Sumber: majalah Utusan

Comments