Salfius Seko : Pengakuan Negara Terhadap Hak Ulayat Masyarakat Adat di Kalimantan

Pengakuan dan Perlindungan Hak Ulayat 

Dalam Kamus Besar bahasa Indonesia, pengakuan (erkenning) berarti proses, cara, perbuatan mengaku atau mengakui, sedangkan kata mengakui menyatakan berhak. Pengakuan dalam konteks ilmu hukum internasional, mengarah pada pengakuan de facto dan de jure. Pengakuan yang secara nyata terhadap entitas tertentu untuk menjalankan kekuasaan efektif pada suatu wilayah disebut dengan pengakuan de facto. Pengakuan de facto merupakan pengakuan yang bersifat sementara, karena pengakuan tersebut ditunjukkan pada kenyataan mengenai kedudukan pemerintahan yang baru, apakah ia didukung oleh rakyatnya atau apakah pemerintahannya efektif yang menyebabkan kedudukannya stabil. Jika kemudian bisa dipertahankan dan pengakuannya bertambah maju, maka pengakuan de facto dapat berubah menjadi pengakuan de jure. 


Pengakuan de jure ini bersifat tetap dan disertai dengan tindakan-tindakan hukum lainnya. Dalam kaitannya dengan suatu “pengakuan” dalam konteks pengakuan terhadap suatu Negara, Hans Kelsen dalam bukunya “General Theory of Law and State” : “terdapat dua tindakan dalam suatu pengakuan yakni tindakan politik dan tindakan hukum. Tindakan politik mengakui suatu Negara yang berarti Negara mengakui kehendak untuk mengadakan hubungan-hubungan politik dan hubungan-hubungan lain dengan masyarakat yang diakuinya. Sedangkan tindakan hukum adalah prosedur yang ditetapkan oleh hukum internasional (nasional) untuk menetapkan fakta Negara dalam suatu kasus konkret” 

Berdasarkan pendapat Kelsen tersebut, pengakuan terhadap masyarakat adat oleh Negara mengarah pada pengakuan politik dan pengakuan secara hukum dengan pengaturan mengenai hak dan kewajiban pemerintah dalam memberikan penghormatan, pemenuhan dan perlindungan terhadap eksistensi dan hak-hak tradisional yang dimilikinya yang harus diformulasikan dalam bentuk hukum. Menurut Austin, pengakuan melalui hukum Negara ini diartikan sebagai hukum yang dibuat oleh orang atau lembaga-lembaga yang memiliki kedaulatan, dan pengakuan ini diberlakukan terhadap anggota-anggota masyarakat politik yang merdeka. 

Anggota masyarakat tersebut mengakui kedaulatan atau supremitas yang dimiliki orang atau lembaga-lembaga pembuat hukum yang bersangkutan. Dengan demikian, kebiasaan hanya akan berlaku sebagai hukum jika undang-undang menghendaki atau menyatakannya dengan tegas atas keberlakuan kebiasaan tersebut . Konsepsi Austin yang melihat hukum Negara sebagai satu-satunya hukum yang mengatur kehidupan masyarakat dikritik oleh pengikut mazhab sejarah , menurutnya bahwa setiap masyarakat memiliki ciri khas masingmasing yang tergantung pada riwayat hidup dan struktur sosial yang hidup dan berkembang untuk mengatur kepentingan mereka. Hal tersebut dipertegas oleh Freidrich Carl Von Savigny (tokoh utama mazhab sejarah) yang melihat bahwa hukum merupakan salah satu faktor dalam kehidupan bersama suatu bangsa seperti bahasa, adat, moral, tatanegara. 

Oleh karenanya, hukum adalah sesuatu yang bersifat supra individual, suatu gejala masyarakat. Akan tetapi masyarakat tersebut lahir dalam sejarah, berkembang dengan sejarah, dan lenyap dalam sejarah. Dengan demikian, hukum merupakan fenomena historis yang keberadaannya setiap saat akan berbeda, bergantung pada tempat dan waktu hukum tersebut berlaku. Hukum merupakan penjelmaan dari jiwa atau rohani suatu bangsa (volksgeist). 
Asumsi pernyataan Carl von Savigny tersebut didasarkan pada : Ada keterikatan antarasejarah dan hukum, sehingga hukum bukanlah disusun diciptakan oleh orang, hukum tumbuh dan berkembang bersamasama dengan rakyat, namun perkembangan hukum itu sendiri pada dasarnya adalah diluar kesadaran dan merupakan proses yang organis. Hukum berkembang dari pandangan yang sederhana, dipahami sebagai hubungan hukum dalam masyarakat primitive, berkembang menjadi peradaban kompleks dalam peradaban modern. Kesadaran masyarakat ini tidak dapat dimanifestasikan dalam diri sendiri secara langsung melainkan direpresentasikan para ahli hukum yang memformulasikan prinsip-prinsip hukum secara teknis. 

Para ahli hukum ini hanya merupakan organ dari kesadaran hukum masyarakat, yang terbatas pada tugasnya untuk menangkap bahan-bahan hukum mentah yang mereka temukan dalam masyarakat. Hukum-hukum tidak memiliki validitas dan atau tidak dapat diterapkan secara universal, karena setiap masyarakat telah membangun hukumnya sendiri, tata kramanya, adat-istiadatnya dan bahasanya sendiri. 

Dengan demikian, satu-satunya sumber hukum adalah kesadaran hukum masyarakat yang diwujudkan dalam hukum kebiasaan maupun undangundang, antara keduanya adalah sederajat, karena hakikat undang-undang adalah kebiasaan yang diformalkan. Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 berbunyi :” bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. 

Amanat Pasal 33 UUD NRI 1945 merupakan ruhnya dari hak negara untuk mengatur pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya agraria dan sumberdaya alam (SDA). Secara rinci Pasal 33 UUD NRI 1945 menyebutkan: 

(1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan; 
(2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara; 
(3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat; 
(4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional; 
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang.

 
Secara eksplisit ketentuan Pasal 33 UUD NRI 1945 di atas, mengatur prinsip-prinsip dasar, arah dan kebijakan dalam tata kelola perekonomian Indonesia, serta kewajiban sosial negara terhadap pemenuhan hak rakyat, atas penghidupan yang layak bagi kemanusiaannya. Mencermati isi wewenang negara yang bersumber pada hak menguasai agraria dan Sumber Daya Alam oleh Negara tersebut, semata-mata bersifat publik yaitu, wewenang untuk mengatur (wewenang regulasi) dan bukan menguasai tanah atau lahan secara fisik dan menggunakannya sebagaimana wewenang pemegang hak atas tanah yang bersifat pribadi. 

Kutipan Pasal 33 UUD NRI 1945 diatas juga menunjukkan point penting bahwa “kemakmuran rakyat” menjadi entry point dari proses pembangunan bangsa. Termasuk kedalam kategori rakyat, terdapat komunitas-komunitas masyarakat lokal/adat yang menjadi pemilik sah sumberdaya agraria dan SDA. Sehingga kelompok masyarakat ini juga memiliki hak untuk mendapatkan tujuan yaitu...”sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Tanah dan lahan sebagai sumber daya agraria dan Sumber Daya Alam menjadi sentral isu bagi masyarakat setempat (masyarakat lokal/masyarakat adat) dari sisi ekonomi maupun sisi sosial-kulturalnya. 

Tanah dan lahan menjadi sumber kehidupan dan sekaligus simbol identitas yang didalamnya terkandung kehormatan dan martabat pemiliknya. Secara mentradisi bagi masyarakat lokal/adat mempresepsikan alam dan tanah sebagai ibu yang wajib dijaga dan dihormati dan lindungi serta tidak eksploitasi secara masif dan destruktif. 

Rumusan pasal 33 ayat (3) tersebut menjadi landasan hukum yang mengatur tentang tanah (tanah adalah bagian atas dari bumi atau merupakan permukaan bumi), dan sebagai pelaksana dari ketentuan pasal 33 ayat (3) tersebut adalah Undang-Undang Pokok Agraria No.5 Tahun 1960. 

Undang-Undang Pokok Agraria juga memuat ketentuan berkenaan dengan salah satu aspek hak masyarakat adat terpenting terkait dengan ruang hidupnya, yakni hak ulayat. Pasal 3 UUPA menyatakan :”dengan mengingat ketentuan dalam pasal 1 dan pasal 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa dari masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi”. 

Ketentuan pasal 3 UUPA tersebut dipertegas kembali dalam Pasal 18 B ayat (2) UUD 1945 amandemen sebagai bentuk pengakuan dan penghormatan Negara terhadap hak ulayat yang berbunyi sebagai berikut : 

“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang”. 

Selanjutnya Pasal 28 I ayat (3) menyatakan : 

“Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban”. 

Ketentuan pasal tersebut di atas memberi pengakuan secara implisit pula bahwa Negara mengakui keberadaan hak-hak tradisional masyarakat adat beserta seluruh eksistensinya termasuk hak ulayat/tanah adat. Pengakuan yang diberikan Negara terhadap masyarakat adat secara formil memberi pijakan bagi masyarakat adat untuk mencapai kesetaraan dengan masyarakat lainnya bahwa mereka adalah bagian dari masyarakat Indonesia yang berhak untuk mendapat perlakuan yang sama dalam segala aspek termasuk memamfaatkan bumi, air, ruang angkasa bagi kesejahteraan mereka. 

Namun pengakuan formil tersebut, harus pula diikuti dengan pengakuan yang bersifat materiil sehingga tidak ada lagi pengakuan bersyarat. Penggunaan kata “sepanjang masih ada dan tidak bertentangan dengan…” memberi penegasan adanya pengakuan setengah hati dari Negara, artinya kondisi ini tidak memberi keluasaan yang luas bagi masyarakat adat untuk memamfaatkan bumi, air beserta kekayaan alam yang ada di atasnya bagi kesejahteraan mereka. 

Kata “sepanjang masih ada...”, memberi sebuah penegasan bahwa untuk mengakui keberadaan masyarakat hukum adat harus memenuhi kriteria sebagaimana yang diatur dalam Pasal 2 ayat (2) Permen Agraria Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat, antara lain, yakni : 

a. terdapat sekelompok orang yang masih merasa terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum tertentu, yang mengakui dan menerapkan ketentuan-ketentuan persekutuan tersebut dalam kehidupannya sehari-hari ; 
b. terdapat tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup para warga persekutuan hukum tersebut dan tempatnya mengambil keperluan hidupnya seharihari ; dan 
c. terdapat tatanan hukum adat mengenai pengurusan, penguasaan dan penggunaan tanah ulayat yang berlaku dan ditaati oleh para warga persekutuan hukum tersebut. 

Pengakuan dan perlindungan terhadap masyarakat hukum adat dan haknya tersebut ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Keberadaan hak ulayat adalah suatu keniscayaan yang tidak terbantahkan, oeleh karenanya komitmen untuk menghormati dan melindungi hak ulayat, baik secara regional dan nasional memiliki arti penting karena hak ulayat merupakan hak asasi masyarakat hukum adat yang harus dihormati dan dilindungi . 

Arti penting menghormati dan melindungi hak-hak adat tertuang dalam komitmen masyarakat internasional yang meliputi berbagai konvensi internasional, antara lain The United Nations Charter 1945, The Universal Declarations of Human Rights (1948), dll. 

Demikian pula halnya dengan penghormatan dan perlindungan dalam berbagai instrumen peraturan perundang-undangan di Indonesia, antara lain Pasal 18B UUD 1945 amandemen, TAP MPR No. IX/MPR/2001, dan berbagai peraturan perundang-undangan lainnya. 


Dimensi Pengakuan Hak Ulayat dalam Peraturan Perundang-undangan 

Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar PokokPokok Agraria (UUPA) memuat ketentuan tentang salah satu aspek hak masyarakat adat terkait dengan ruang hidupnya, yakni hak ulayat sebagaimana yang termuat dalam Pasal 3 UUPA tersebut. Beriringan dengan adanya pengakuan dan penghormatan terhadap salah satu aspek dari masyarakat adat, yakni hak ulayat tersebut dikemudian hari lahir pula peraturan perundang-undangan sektoral setelah UUPA, namun esensi pengakuannya berbeda ( Maria S.W. Sumardjono, 2008 : 157 ). 

Menurut konsep hukum pertanahan nasional, tanah ulayat dipandang sebagai satu entitas tersendiri yang berdampingan dengan tanah negara dan tanah hak (tanah yantg dilekati dengan sesuatu hak atas tanah oleh orang perorangan atau badan hukum), sebaliknya dengan UU No.41/1999 tentang Kehutanan, hutan adat dimasukkan sebagai bagian dari hutan negara (Maria S.W. Sumardjono, 2008 : 157). Pengakuan, penghormatan dan perlindungan terhadap masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya mengalami perkembangan yang cukup membanggakan, terutama dalam era reformasi. 

Pengakuan Negara terhadap masyarakat hukum adat beserta seluruh eksistensinya secara formil termuat dalam peraturan perundang-undangan, antara lain sebagai berikut : UUD 1945 Perubahan Kedua (Tahun 2000) Pasal 18 B ayat (2) : ”Negara mengakui dan menghormati kesatuankesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang”. 

Pasal 28 I ayat (3) : 

”Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban”. 

TAP MPR No.IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Penggelolaan Sumber Daya Alam. UU No.23/1997 tentang Penggelolaan Lingkungan Hidup Pasal 9 ayat (1) : 

” Pemerintah menetapkan kebijaksanaan nasional tentang penggelolaan lingkungan hidup dan penataan ruang dengan tetap memperhatikan nilai-nilai agama, adat-istiadat, dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat”. 

UU No.39/1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 5 ayat (3) :

“setiap orang termasuk kelompok masyarakat yang rentan berhak memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya”. 

Pasal 6 ayat (1) :

“dalam rangka penegakan hak asasi manusia, perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyarakat, dan pemerintah”. 

Pasal 6 ayat (2) :

“Identitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman”. 

UU No.41/1999 tentang Kehutanan Pasal 1 huruf f : 

“hutan adat adalah hutan Negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat”. 


Pasal 4 ayat (3) : 

“Penguasaan hutan oleh Negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional”. 

Pasal 5 ayat (1) :

“hutan berdasarkan statusnya terdiri dari : (a) hutan negara; dan (b) hutan hak”. 

UU No.25/2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) Tahun 2000-2004. Program Penataan Kelembagaan dan Penegakan Hukum Penggelolaan Sumber Daya Alam dan Pelestarian Lingkungan Hidup. Program Peningkatan Peranan Masyarakat dalam Penggelolaan Sumber Daya Alam dan Pelestarian Lingkungan Hidup. UU No.22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi Pasal 34 ayat (1) : 

”Dalam hal Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap akan menggunakan bidang-bidang tanah hak atau tanah negara didalam wilayah kerjanya, Badan Usaha atau Bentuk badan Usaha Tetap yang bersangkutan wajib terlebih dahulu mengadakan penyelesaian dengan pemegang hak atau pemakai tanah di atas negara, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku”. 

Pasal 34 ayat (2) : 

”Penyelesaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara musyawarah dan mufakat dengan cara : (1) jual beli, tukar-menukar, ganti rugi yang layak; (2) pengakuan atau bentuk penggantian lain kepada pemegang hak atau pemakai tanah di atas negara”. 
UU No.20/2002 tentang Ketenagalistrikan Pasal 35 ayat (6) : 

”Dalam hal tanah yang digunakan pemegang Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik terdapat tanah ulayat dan yang serupa dari masyarakat hukum adat sepanjang kenyataannya masih ada, penyelesaiannya dilakukan oleh pemegang Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik dengan masyarakat hukum adat yang bersangkutan sesuai peraturan perundang-undangan dibidang pertanahan dengan memperhatikan ketentuan hukum adt setempat”. 

UU No.7/2004 tentang Sumber Daya Air Pasal 6 ayat (2) : 

“Penguasaan sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah dengan tetap mengakui hak ulayat masyarakat hukum adat setempat dan hak serupa dengan itu, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan peraturan perundang-undangan”. 

Pasal 6 ayat (3) :

“Hak ulayat masyarakat hukum adat atas sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tetap diakui sepanjang kenyataannya masih ada dan telah dikukuhkan dengan peraturan daerah setempat”. 

UU No.18/2004 tentang Perkebunan Pasal 9 ayat (2) : 

“Dalam hal tanah yang diperlukan adalah tanah hak ulayat masyarakat hukum adat yang menurut kenyataannya masih ada mendahului pemberian hak dimaksud ayat (1), pemohon hak wajib melakukan musyawarah dengan masyarakat adat pemegang hak ulayat dan warga pemegang hak atas tanah yang bersangkutan untuk memperoleh kesepakatan mengenai penyerahan tanah dan imbalannya”. 

UU No.31/2004 tentang Perikanan Pasal 6 ayat (2) : 

“Penggelolaan perikanan untuk kepentingan penangkapan ikan dan pembudidayaan ikan harus mempertimbangkan hak adat dan/atau kearifan lokal serta memperhatikan peran serta masyarakat”. 

UU No.38/2004 tentang Jalan Pasal 58 ayat (3) :

“Pemegang hak atas tanah, atau pemakai tanah Negara, atau masyarakat hukum adat, yang tanahnya diperlukan untuk pembangunan jalan, berhak mendapat ganti kerugian”. 

UU No.27/2007 tentang Penggelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Pasal 1 Angka 33 : 

“Masyarakat Adat adalah kelompok masyarakat pesisir yang secara turun-temurun bermukim di wilayah geografis tertentu karena adanya ikatan pada asal-usul leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial dan hukum”. 

Pasal 61 ayat (1) :

“Pemerintah mengakui, menghormati, dan melindungi hak-hak Masyarakat Adat, Masyarakat Tradisional, dan Kearifan Lokal atas Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil yang telah dimamfaatkan secara turun-temurun”. 

Pasal 61 ayat (2) : 

“Pengakuan hak-hak Masyarakat Adat, Masyarakat Tradisional dan Kearifan Lokal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dijadikan acuan dalam Penggelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil yang berkelanjutan”. 

Penegasan lebih lanjut mengenai bentuk pengakuan terhadap hak ulayat masyarakat hukum adat adalah dengan diterbitkannya Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No.5/1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat hukum Adat. Ketentuan ini memberi kriteria masih berlangsungnya hak ulayat masyarakat adat berdasarkan pada keberadaan masyarakat adat, wilayah dan tatanan hukum adatnya. Namun proses untuk menentukan ada atau tidaknya tanah ulayat masyarakat hukum adat masih bersifat prosedural sehingga esensinya hanya bersifat legalitas formal. 

Keberadaan Hak Ulayat di Kalimantan 

Undang-Undang Pokok Agraria menggunakan istilah hak ulayat (wilayah) untuk menunjukkan pada tanah yang merupakan wilayah lingkungan masyarakat hukum yang bersangkutan. Istilah ini sama dengan istilah yang dipakai oleh masyarakat daerah, dimana istilah yang digunakan adalah “hak petuanan” yang menunjuk kepada pengertian “lingkungan kekuasaan”. 

Sedangkan Van Vollenhoven menggunakan istilah “beschikkingsrecht”, dimana istilah ini menggambarkan hubungan persekutuan dengan tanahnya sendiri. Dalam masyarakat hukum adat di Kalimantan Barat menyebut hak ulayat (lingkungan kekuasaan) dengan sebutan Binua (kelompok Suku Dayak Kanayatn), Banua (kelompok Suku Dayak Bakati), Benua (kelompok Suku Dayak Tobag), sedangkan pada beberapa daerah di Indonesia nama istilah hak ulayat tidak menunjuk kepada istilah ulayat, namun menunjuk kepada tanah wilayah kepunyaan. 

Di Ambon menyebut dengan istilah pertuanan (tanah kepunyaan), Jawawewengkon, Bali-prabumian (daerah yang dibatasi). Penyebutan yang berbeda-beda menunjukkan pluralisme dalam hukum adat tanah di satu sisi, di sisi lain, menunjukkan bahwa hukum adat tanah memiliki banyak dimensi atau kata singkatnya memiliki arti yang luas dari sisi isi dan konsepnya. 

Dalam realitasnya, hak ulayat menghadapi tantangan yang sulit dan berat dalam pengakuan dan perlindungannya. 
Pasal 3 UUPA menegaskan 

“Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakatmasyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi”. 

Pengakuan tersebut merupakan pengakuan bersyarat dan berlapis, “sepanjang masih ada..., sepanjang tidak bertentangan dengan...”. 

Oleh Satjipto Rahardjo digambarkan klausula yuridis yang menjadi kriteria eksistensi masyarakat hukum adat dan haknya sebagai berikut : 

a. “Sepanjang masih hidup” Kita tidak semata-mata melakukan pengamatan dari luar, melainkan juga dari dalam, dengan menyalami perasaan masyarakat setempay (pendekatan partisipatif). 
b. “Sesuai dengan perkembangan masyarakat” Syarat ini mengandung resiko untuk memaksakan (imposing) kepentingan raksasa atas nama “perkembangan masyarakat”. Tidak memberi peluang untuk membiarkan dinamika masyarakat setempat berproses sendiri secara bebas. 
c. “Sesuai dengan prinsip NKRI” Kelemahan paradigma ini melihat NKRI dan masyarakat adat sebagai dua entitas yang berbeda dan berhadap-hadapan. 
d. “Diatur dalam undang-undang” Indonesia adalah Negara berdasar hukum, apabila dalam Negara yang demikian itu segalanya diserahkan kepada hukum, maka kehidupan sehari-hari tidak akan berjalan dengan produktif. 

Hukum yang selalu ingin mengatur ranahnya sendiri dan merasa cakap untuk itu telah gagal (bila tidak melibatkan fenomena sosial lainnya). Pasal 2 Permen ATR Nomor 18 Tahun 2019 tentang Tata Cara Tanah Ulayat Kesatuan Masyarakat Hukum Adat, menegaskan bahwa Penatausahaan tanah ulayat kesatuan masyarakat hukum adat dilakukan berdasarkan penetapan pengakuan dan perlindungan kesatuan masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan. 

Adapun permohonan penatausahaan tanah ulayat kesatuan masyarakat hukum adat diajukan kepada Kepala Kantor Pertanahan setempat. Penatausahaan tanah ulayat kesatuan masyarakat hukum adat, meliputi: 

1) pengukuran; 
2) pemetaan; dan 
3) pencatatan dalam daftar tanah.

Pengukuran dilaksanakan terhadap batas-batas bidang tanah ulayat kesatuan masyarakat hukum adat yang telah ditetapkan. Setelah dilakukan pengukuran, dilakukan pemetaan atas bidang tanah ulayat kesatuan masyarakat hukum adat dalam peta pendaftaran tanah. Pengukuran dan pemetaan dilaksanakan sesuai dengan kaidah pengukuran dan pemetaan bidang tanah. 

Bidang tanah ulayat kesatuan masyarakat hukum adat diberikan nomor identifikasi bidang tanah dengan satuan wilayah kabupaten/kota. Tanah ulayat kesatuan masyarakat hukum adat dicatat dalam daftar tanah. Jadi, agar tanah ulayat itu dapat diakui dan dilindungi, masyarakat hukum adat terkait harus terlebih dahulu diakui dan ditetapkan oleh bupati/walikota. Kemudian, baru dapat dilakukan penatausahaan tanah ulayat, sehingga tanah ulayat dapat didaftarkan di daftar tanah. 

Hak ulayat sebagai suatu hak yang melekat pada masyarakat adat tidak dapat dipisahkan dari masyarakat adat. Dalam dimensi HAM hak ulayat ini merupakan hak yang harus dihormati, diakui dan lindungi oleh Negara dan semua pihak. Untuk memudahkan kita memahami hak ulayat secara lebih mendalam, maka hak ulayat harus dilihat dalam dimensi lain, yakni dimensi ciri yang mengenalkan, menjelaskan tentang identitas dan isi dari hak ulayat tersebut. 

Mensitir pendapat Van Vollenhoven maka terdapat ciri-ciri dari hak persekutuan atas tanah (hak ulayat) tersebut, antara lain : 

1) hanya persekutuan hukum yang bersangkutan dan para anggotanya yang dapat bebas mengerjakan tanah yang belum dijamah oleh orang lain untuk macam-macam keperluan, boleh membuka tanah untuk pertanian (clearing it for agricultural), mendirikan kampung (founding a village), dan mengambil hasil hutan (gathering forest produce or toexploit any virgin land); 
2) orang boleh melakukan hal tersebut, hanya dengan ijin persekutuan; 
3) orang luar dan kadang-kadang para anggota persekutuan harus membayar sewa bumi, supaya diberi izin melakukan tindakan tersebut (rekcoqnisi); 
4) persekutuan hukum adat tetap mempunyai hak pengawasan terhadap cultivated lands; 
5) persekutuan bertanggung jawab dalam hal unaccountable delict within the area (misalnya yang bersalah tidak diketahui atau tidak dapat ditangkap); 
6) hak ulayat can not be permanently alienated atau tidak dapat dilepaskan untuk selama-lamanya. 

Berdasarkan ciri-cirinya tersebut di atas, pemanfaatan hak ulayat memiliki sifat keberlakuannya, yakni : 

1) Sifat Kedalam. Berdasarkan sifatnya ini, maka tiap-tiap anggota masyarakat adat berhak mengambil hasil dari tanah dan binatang serta tumbuh-tumbuhan yang ada di atas hak ulayat. 2) Sifat Keluar. Sifat keluar ini berarti bahwa hak ulayat juga berlaku terhadap orang-orang luar, yakni orang-orang yang bukan warga persekutuan. 

Apabila orang luar mau memasuki persekutuan, mereka terlebih dahulu harus meminta ijin dari kepala persekutuan. Sedangkan kriteria penentu hak ulayat masyarakat hukum adat dianggap masih ada apabila memenuhi tiga unsur, yaitu : 

1. unsur masyarakat adat, yaitu terdapatnya sekelompok orang yang masih merasa terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum tertentu, yang mengakui dan menerapkan ketentuan-ketentuan persekutuan tersebut dalam kehidupannya seharihari; 
2. unsur wilayah, yaitu terdapatnya tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup para warga persekutuan hukum tersebut dan tempatnya mengambil keperluan hidupnya sehari-hari; dan 
3. unsur hubungan antara masyarakat tersebut dengan wilayahnya, yaitu terdapatnya tatanan hukum adat mengenai pengurusan, penguasaan, dan penggunaan tanah ulayatnya yang masih berlaku dan ditaati oleh para warga persekutuan hukum tersebut. 

Hal tersebut di atas dipertegas kembali oleh Boedi Harsono, menurutnya hak ulayat masyarakat hukum adat dinyatakan masih ada apabila memenuhi tiga unsur, yaitu : 

1. Masih adanya suatu kelompok orang sebagai warga suatu persekutuan hukum adat tertentu, yang merupakan suatu masyarakat hukum adat. 
2. Masih adanya wilayah yang merupakan ulayat masyarakat hukum adat tersebut, yang disadari sebagai tanah kepunyaan bersama para warganya sebagai “labensraum”-nya. 
3. Masih adanya penguasa adat yang pada kenyataan dan diakui oleh para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan melakukan kegiatan sehari-hari sebagai pelaksana hak ulayat.  
Dengan demikian untuk menentukan masih adanya hak ulayat masyarakat hukum adat merupakan kerja Pemerintah Daerah dengan mengikut sertakan para pakar hukum adat, masyarakat hukum adat yang ada di daerah yang bersangkutan, Lembaga Swadaya Masyarakat dan instansi-instansi yang mengelola sumber daya alam. Keberadaan tanah ulayat masyarakat hukum adat yang masih ada dinyatakan dalam peta dasar pendaftaran tanah dengan membubuhkan suatu tanda kartografi, dan apabila memungkinkan, menggambarkan batas-batasnya serta mencatatnya dalam daftar tanah (Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) Permen Agraria/Kepala BPN No. 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat). 


Selanjutnya ditegaskan bahwa pelaksanaan hak ulayat masyarakat hukum adat tidak dapat lagi dilakukan terhadap bidang-bidang tanah yang pada saat ditetapkannya Peraturan Daerah : 

1) sudah dipunyai oleh perseorangan atau badan hukum dengan sesuatu hak atas tanah menurut Undang-Undang Pokok Agraria; 
2) merupakan bidang-bidang tanah yang sudah diperoleh atau dibebaskan oleh instansi pemerintah, badan hukum atau perseorangan sesuai ketentuan dan tata cara yang berlaku. 

Uraian di atas, menunjukkan bahwa penentuan karakteristik hak ulayat (das solen) masyarakat atas tanah sangat bergantung kepada: 

a. Obyek, dengan tanda-tanda/ciri-ciri khas keberadaan tanah ulayat (Voorkeursrecht), penguasaan fisik (Ontginningsrecht), pemanfaatan tanah dengan cara memungut hasil (Genon recht); 
b. Subyek (Gemeenschapen) yang terdiri dari struktur masyarakat hukum adat didasari hubungan kekerabatan/keturunan (geneologis), prinsip teritorial dan gabungan antara 1 dan 2; dan 
c. Struktur Lembaga Hukum Adat dan Perangkat Tatanan Hukum dan Anggota Masyarakat Ada. 

Masyarakat hukum adat di Kalimantan memahami hak ulayat sebagai tanah adat. konsepsi tanah adat dipahami sebagai tanah yang tunduk kepada ketentuan hukum adat. tanah adat ini terdiri dari tiga bagian penting dalam hubungan dengan penguasaannya, yakni:

1. Tanah adat yang dikuasai secara komunal oleh masyarakat hukum adat, tanah ini dikuasai oleh masyarakat secara bersama-sama, dijaga, dipelihara dan dimanfaatkan untuk kepentingan bersama, misalnya kawasan hutan adat yang merupakan wilayah untuk konservasi karena merupakan sumber air bersih dan hutan adat, tempat keramat yang merupakan tempat bersemayamnya roh-roh para leluhur suku Dayak, dan sebagainya. 

2. Tanah adat yang dikuasai oleh sebuah keluarga besar, contohnya tembawang (kebun bermacam ragam buah-buahan). 

Tembawang ini memiliki fungsi sosial, kultural, ekologis dan ekonomis. Pada mulanya, tembawang ini dimiliki oleh satu keluarga kecil, akan tetapi lama-kelamaan keluarga kecilnya ini menjadi keluarga besar yang mendiami suatu kampung tertentu karena mereka telah beranak-cucu. Ketiga, tanah yang dikuasai secara individual, tanah inilah yang nantinya menjadi cikal bakal menjadi tanah hak milik, berupa bawas (bekas ladang tanah kering), kebun karet, dan sebagainya. 

Realitas tanah adat tersebut memberikan suatu penjelasan bahwa hak individual diliputi oleh hak komunal. Dan jika terjadi persinggungan kepentingan antara hak komunal dan individual, maka hak individual dapat dikesampingkan. 

Akan tetapi, kondisi ini dipengaruhi oleh kemampuan menebal menipis dari tanah adat tersebut. Artinya, bila hak komunal menguat, maka hak individual menipis, sebaliknya jika hak indivual menguat, maka hak komunal menipis. 

Keberadaan tanah adat ini berada dalam suatu wilayah adat yang disebut binua (untuk Dayak Kanayatn, Bidayuh, Iban dan Bekati), kampung/laman (untuk Dayak Tarakng (Mali, Keneles, Pruna dan Taba). 

Setiap wilayah binua dikepalai oleh kepala binua yang yang disebut temenggung, sedangkan untuk kampung dikepalai oleh kepala kampung. Untuk menjaga keutuhan, keamanan tanah adat dari gangguan pihak persekutuan dan luar persekutuan, maka petugas adat (secara hierarkial: pesirah, pangaraga, temenggung) dan masyarakat adat melakukan tindakan pencegahan dan tindakan penjatuhan sanksi adat. 

Hukum adat inilah yang menjaga, mengatur tata kehidupan masyarakat hukum adat, termasuk dalam hal menjaga keutuhan dan keamanan tanah adat supaya tetap terjaga keberadaannya.


Hambatan Pengakuan Hak Ulayat dalam Praktik di Lapangan 

Pengakuan dan perlindungan terhadap hak ulayat (baca : tanah adat) pada masyarakat adat dalam kenyataannya masih lemah. Lahirnya Peraturan Daerah (ada 8 (delapan) kabupaten di Kalbar) tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat tidak serta merta bahwa masyarakat hukum adat beserta hak-haknya diakui dan dilindungi. Itu berarti bahwa pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat harus disertai dengan berbagai tindakan hukum lain. 

Berdasarkan realitas hukum tersebut, maka ada beberapa persoalan mendasar yang menjadi titik lemah mengapa pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat beserta hak-haknya dinailai tidak maksimal, antara lain : 

1. Pengakuan bersyarat dan berlapis terhadap hak ulayat (tanah adat). 

Pengakuan bersyarat dan berlapis terhadap masyarakat hukum adat beserta hak-haknya, termasuk hak ulayatnya tergambar dari beberapa hal, 
a. Pertama, adanya pembatasan pengakuan hukum berupa persyaratanpersyaratan tertentu yang sangat rumit. 
b. Kedua, kebijakan di masing-masing instansi pemerintah belum sinergis sehingga menciptakan sektoralisasi. Sektoralisasi ini pada akhirnya telah menjadikan banyak instansi pemerintah mengurusi Masyarakat Hukum Adat menggunakan pendekatan yang berbeda-beda dan parsial dalam memandang keberadaan dan hak-hak masyarakat hukum adat, yang berakibat pada kondisi masyarakat hukum adat yang terbelah-belah mengikuti pola-pola sektoralisasi instansi pemerintah. 
c. Ketiga, belum adanya kejelasan lembaga yang paling berkompeten mengurusi keberadaan dan hak-hak masyarakat hukum adat serta belum terciptanya model pengaturan yang komprehensif dalam pengakuan hukum terhadap keberadaan masyarakat hukum adat, baik substansi maupun kerangka implementasinya. 

Dalam konteks Hukum Internasional, pengakuan bersyarat menunjukkan sifat pilitus dari pengakuan. Pengakuan bersyarat ini ditemukan terhadap negara-negara Balkan pada akhir abad ke-19 yang dituntut supaya memberikan perlindungan bagi kelompok minoritas. 


Akan tetapi, menurut Shaw pengakuan model ini tidak mendapatkan tempatnya dalam hukum internasional, sebab, secara teoritis meskipun pengakuan terkadang lebih bermotifkan kepentingan- kepentingan politik, sekali telah diberikannya pengakuan kepada suatu Negara maka pengakuan tersebut tidak dapat dicabut lagi. 

2. Persoalan Sistemik Hak Menguasai Negara terhadap hak ulayat (tanah adat) 

UUPA menggunakan terminologi “Hak Menguasai dari Negara” atau yang kemudian lebih dikenal dengan Hak Menguasai Negara (HMN) sebagai penyebutan pola hubungan penguasaan negara atas tanah dan sumber daya alam lainnya. Konsep Hak Menguasai Negara dalam bidang agraria, secara ideologi bertujuan menggantikan asas Domein Verklaring di masa kolonial. 

Domein verklaring ini diatur dalam Agrariche Besluit (Stb. 1870 no. 118) yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Agrarische Wet (Stb. 1870 no.55). Domein verklaring merupakan prinsip yang menggerakkan mesin kolonial pada masa itu untuk menyatakan bahwa tanah yang tidak dapat dibuktikan kepemilikannya adalah eigendom atau hak milik negara.

Prinsip itu kemudian membagi pula penguasaan tanah oleh penguasa kolonial menjadi tanah negara bebas atau vrije domeinen (vrij landsdomein) dan tanah negara tidak bebas atau onvrije domeinen (onvrij landsdomein). 
Doktrin ini, berimplikasi lebih lanjut pada teralienasi (tersingkirkan) masyarakat adat dari tanah di mana mereka hidup dan tinggal. Padahal, bagi masyarakat adat, tanah bukan sekadar sumber penghidupan ekonomi, akan tetapi lebih dari itu, yakni sebagai ruang hidup dan kehidupan itu sendiri. Karena berdasarkan sifat dan faktanya. 

Menurut Saafroedin Bahar , konstruksi hak menguasai negara atas tanah ini adalah bentuk yang lebih buruk dari domein verklaring. Jika domein verklaring masih mengakui adanya hak atas ulayat maka hak menguasai negara atas tanah malah menafikannya sama sekali. Pemberlakuan domein verklaring akan berhenti ketika bertemu dengan tanah ulayat, sementara hak menguasai negara tidak mempedulikan tanah ulayat atau bukan, penguasaan negara tetap berlangsung. 

UU Pokok Agraria harus dilihat dari perspektif kesejarahan, kehidupan berbangsa dan bernegara, serta hukum internasional, materi UU Pokok Agraria sesungguhnya mempunyai akar sejarah sudah lama, yakni setelah dibentuknya otoritas politik lebih tinggi di atas kesatuan-kesatuan masyarakat adat yang ada. Dalam zaman Hindia Belanda, pengakuan terhadap kesatuan masyarakat dan hutan adat, berlangsung serta merta, tanpa kondisionalitas apapun. Para pendiri negara Indonesia, juga tanpa syarat mengakui hak asal usul dari kesatuan masyarakat adat, seperti tercantum dalam Pasal 18 UUD 1945 beserta penjelasannya. 

Sejak tahun 1960 sampai sekarang, dengan pencantuman berbagai kondisionalitas terhadap eksistensi kesatuan masyarakat adat, dan konstruksi hak menguasai negara atas tanah dengan cara melanggar hak asal-usul kesatuan masyarakat adat, maka secara teoretikal telah terjadi tiga pelanggaran konstitusional.

Pertama, terhadap original intent para pendiri negara. Kedua, terhadap tugas pemerintah seperti tercantum dalam alinea keempat pembukaan UUD 1945. Ketiga, terhadap Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Dengan begitu, tafsir mengenai hak menguasai negara dibatasi hak menguasai (ulayat) masyarakat adat. Penguasaan oleh negara haruslah memperhatikan hak menguasai (ulayat) masyarakat adat dan tak boleh diabaikan apalagi dihapuskan oleh negara. 

3. Perda pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat tidak disertai dengan peraturan pelaksananya 

Pasal 2 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat menyatakan bahwa pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat ditetapkan oleh gubernur atau bupati/walikota dengan surat keputusan. 

Penetapan masyarakat hukum adat dengan surat keputusan tersebut jika telah melalui tahapan: 

a. identifikasi Masyarakat Hukum Adat; 
b. verifikasi dan validasi Masyarakat Hukum Adat; dan 
c. penetapan masyarakat hukum adat. 

Dengan demikian, maka masyarakat hukum adat dapat disebut sebagai subjek hukum yang menjadi pengemban hak dan kewajiban. Menurut Saut P. Panjaitan, hak adalah peranan yang boleh tidak dilaksanakan (bersifat fakultatif), sedangkan kewajiban merupakan peranan yang harus dilaksanakan (bersifat imperatif). 

Antara hak dan kewajiban terdapat hubungan yang sangat erat. Hubungan hukum adalah setiap hubungan yang terjadi antara dua subjek hukum atau lebih di mana hak dan kewajiban di satu pihak berhadapan dengan hak dan kewajiban di pihak yang lain. 

Akibat hukum adalah akibat yang ditimbulkan oleh peristiwa hukum. Atau suatu akibat yang ditimbulkan oleh adanya suatu hubungan hukum. Salah satu wujud dari akibat hukum adalah lahirnya sanksi jika dilakukan tindakan yang melawan hukum. 

Sebagai langkah kongkrit untuk mewadahi hak dan kewajiban dari subjek (hukum masyarakat hukum adat), maka dibutuhkan adanya produk hukum daerah baik yang bersifat mengatur ataupun bersifat penetapan agar penyelengaraan otonomi daerah diberikan kewenangan tersebut dapat menyelenggarakan kegiatan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan kemasyarakatan yang disertai dengan hak dan kewajiban yang bertujuan untuk mendekatkan pelayanan kepada masyarakat yang baik. 

Dengan adanya peraturan pelaksana dari perda tersebut, maka kepastian hukum bagi masyarakat hukum adat dapat terjamin. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada Ayat (1) Pasal 28 D yang berbunyi:

“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”. 

Oleh karenanya menurut Abdul Rachmad Budiono bahwa kepastian hukum bukan merupakan tujuan hukum melainkan sesuatu yang harus ada apabila keadilan dan ketentraman hendak diciptakan. Indikator adanya kepastian hukum suatu negara itu sendiri adalah adanya perundang-undangan yang jelas dan perundang-undangan tersebut diterapkan dengan baik oleh hakim maupun petugas hukum lainnya. 


Hal senada juga dikemukakan oleh Soerjono Soekanto yang berpendapat bahwa kepastian hukum mengharuskan diciptakannya kaedah-kaedah atau peraturan-peraturan yang dibentuk guna menciptakan suasana yang aman dan tentram di lingkungan masyarakat. Ada beberapa bagian dari kepastian hukum dapat dicapai dengan situasi tertentu yakni: 

1. Telah tersedianya aturan-aturan hukum yang jelas atau jernih, mudah diperoleh (accessible) dan konsisten; 
2. Lembaga pemerintah (penguasa) menerapkan aturanaturan yang telah dibuatnya tersebut dengan konsisten dan tunduk; 
3. Masyarakat secara prinsip harus menyesuaikan dengan aturan-aturan hukum tersebut; 
4. Di dalam peradilan hakim tidak berpihak terhadap penerapan aturan-aturan hukum dan harus menerapkan secara konsisten dalam menyelesaikan sengketa; 
5. Pelaksanaan pengadilan harus secara konkrit diterapkan dengan konsisten. 

Dengan demikian, maka peraturan pelaksana dari perda pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat di Kabupaten Bengkayang merupakan sebuah keharusan agar perda tersebut dapat diimpelmentasikan dan memberi kepastian hukum bagi perlindungan hak-hak masyrakat hukum adat. 

4. Kurangnya tenaga teknis/sumber daya yang memahami pemetaan wilayah adat 

DAFTAR PUSTAKA 

Austin, dalam Otje Salman Soemadiningrat 2002. “Rekonseptualisasi Hukum Adat Kontemporer”, Alumni, Bandung. 

Boedi Harsono, 2002. Menuju Penyempurnaan Hukum Tanah Nasional dalam Hubungannya dengan TAP MPR RI IX/MPR/2001, Universitas Trisakti, 2002, Jakarta.

------------------, 2008. Hukum Agraria Indonesia : Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta. 

C.A. van Peursen, 1976. Strategi Kebudayaan, Yogyakarta : Kanisius. 

Departemen Pendidikan Nasional, 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta. 

Fridolin Ukur, 2005. “Makna Religi dari Alam Sekitar dalam Kebudayaan Dayak”, dalam Paulus Florus, dkk (ed.), Kebudayaan Dayak : Aktualisasi dan Transformasi, Pontianak : Institut Dayakologi.

Hans Kelsen, dalam Husen Alting, 2011. Dinamika Hukum dalam Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Adat atas Tanah, LaksBang, Yogyakarta. 

Hendra Nurtjahjo dan Fokky Fuad, 2010. Legal Standing Kesatuan Masyarakat Hukum Adat dalam Berperkara di Mahkamah Konstitusi , Salemba Humanika, 2010, Jakarta. 

Husein Alting, 2011. Dinamika Hukum dalam Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat atas Tanah (Masa Lalu, Kini dan Masa Mendatang), LaksBang, Yogyakarta. 

John M. Echols & Hassan Shadily, 2005. Kamus Inggris-Indonesia : An English-Indonesian Dictionary, Gramedia, Jakarta. 

Maria S.W. Sumardjono, 2008. Tanah : Dalam Perspektif Hak Ekonomi Sosial dan Budaya, Kompas, Jakarta. 

Moh. Nazir, 2005. Metode Penelitian, Ghalia Indonesia, Jakarta. 

Nico Andasputra(eds), 2001. Pelajaran dari Masyarakat Dayak, Institut Dayakologi, Pontianak. 

Pusat Penelitian dan Pengembangan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, 2014. Penelitian Keberadaan Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat Atas Tanah di Kalimantan, BPN-RI, Jakarta.

Comments