Salfius Seko, S.H., M.H : Reorientasi sistem nilai dalam peribahasa adat “tabe kak jebata pejaji penompa, togoh adat sute sungu” pada masyarakat adat dayak tobag melalui kelembagaan sosial
A. Latar Belakang Penelitian
Sistem nilai yang menjadi panduan dalam kehidupan masyarakat adat Dayak tersebut mengalami proses degradasi (kemunduran, kemerosotan, penurunan, dan sebagainya ,tentang mutu, moral, pangkat, dan sebagainya). Persoalan yang mendasar dan urgennya terletak pengajaran hidup berupa nasihat, petuah yang terangkum dalam pepatah adat tidak lagi menjadi suatu pengajaran yang penting dalam masyarakat dan keluarga karena pengaruh modernisasi dan kelembagaan sosial.
Arus modernisasi telah memberi kejutan budaya terutama bagi kaum muda
milenial. Alfin Toffler mengatakan bahwa kejutan tersebut dapat menyebabkan
seseorang atau sekelompok orang kehilangan orientasi dalam hidup. Hilangnya
orientasi hidup berupa tergradasinya sistem nilai dan norma, yakni
adat-istiadat dan hukum adat yang dijadikan pedoman dan pegangan dalam mengatur
tatanan kehidupan dan pergaulan di masyarakat adat. Sistem nilai yang
tergradasi tersebut berupa berkurangnya sikap hormat (tabe) yang menjadi salah
satu trilogi kehidupan Orang Dayak.
Degradasi nilai pada anak-anak muda yang terutama terungkap dalam ekspresi
diri berupa tutur kata, perbuatan dan tindakan. Anak-anak muda seringkali
berbicara kepada orang yang lebih tua tanpa memperhatikan kosa kata yang tepat
untuk diucapkan, seolah-olah dirinya berbicara dengan orang yang sepantaran
(seusia), misalnya kata “ iko (kamu)” dan “kita” (kamu, bermakna Bapak, Paman,
Bibik, abang, kakak). Kata “iko” (kamu) lebih tepat diucapkan pada oarng yang
seusia, sedangkan kata “kita” (kamu) lebih tepat diucapkan kepada orang yang
lebih tua sebagai bentuk sikap hormat kita.
Dalam adat-istiadat pergaulan Orang Dayak, seseorang harus memiliki sikap 3
(tiga) “T”, yakni (tau diri (tahu siapa dirinya), tau basa (tahu sopan-santun)
dan tau budi (tahu membalas budi). Jika seseorang tidak mengetahui dan
mempraktikkan sikap 3T tadi dianggap orang yang tidak tau beradat (orang yang
tidak tahu aturan adat).
Peribahasa yang digunakan dalam melakukan reorientasi sistem nilai tersebut
adalah “Tabe kak Jebata Pejaji Penompa,
Togoh Adat Sute Sungu” adalah peribahasa adat pada rumpun Suku Dayak Tobag yang
disepakati pada musyawarah Adat Dayak Tobag ke- 9 (sembilan) tahun 2017 di Desa
Sebemban, Kecamatan Tayan Hilir, Kabupaten Sanggau.
Tabe” ini merupakan sistem nilai yang menjadi pedoman atau etika dalam
kehidupan di masyarakat dalam hubungannya dengan dimensi yang vertikal dan
horisontal sehingga tatanan sosial di dalam masyarakat tertata lebih baik,
saling menghormati dan mencintai antara yang muda terhadap yang tua dan sikap
hormat manusia (merasa dirinya lemah) kepada Jebata (Tuhan).
Untuk melakukan reorientasi sistem nilai secara masif dan terencana, maka kehadiran kelembagaan adat menjadi urgen. Kelembagaan adat merupakan perpanjangan tangan masyarakat adat sekaligus pengayom dan orangtua, mulai dari Lawang Agong, Pesirah, Jaya, Temenggong, Pati Adat dan Lembaga Musyawarah adat. Jadi kelembagaan adat ini memiliki fungsi yang bersifat pre-emtif (menggunakan cara-cara yang lebih lembut ), dibanding fungsi refresif (menekan, mengekang)
B. Permasalahan
- Keluarga
sejatinya merupakan “ruang
belajar” untuk mengajari dan
menanamkan nilai-nilai dan norma-norma kepada anak-anak yang termuat dalam
pepatah adat.
- Munculnya
gap yang besar antara kaum tua dan kaum muda akibat kejutan budaya yang
dahsyat.
- Perlu
melakukan reorientasi sistem nilai dan kelembagaan melalui pengajaran
lewat peribahasa adat.
C. Tujuan Penelitian
- Timbulnya
kesadaran etik akan arti pentingnya sistem nilai adat dalam pergaulan
sosial dan kehidupan.
- Penguatan
sistem nilai adat melalui keluarga
dan kelembagaan adat secara masif dan terencana.
- Penggunaan
peribahasa sebagai semboyan resmi dalam kegiatan formal di masyarakat
adat.
- Sebagai
solusi untuk mencegah terjadinya degradasi nilai dan norma di dalam
masyarakat adat.
D. Manfaat Penelitian
- Ø Manfaat teoritis, yakni memberi kontribusi bagi pengembangan hukum adat dan referensi bagi peneliti lainnya yang berminat terhadap kajian hukum adat, terutama Hukum Adat Dayak Tobag.
- Ø Manfaat praktis, yakni memberi penguatan pada kelembagaan sosial sebagai ruang belajar bagi kaum muda dan formalisasi semboyan adat sebagai pegangan kaum muda dalam melakukan interaksi sosial di masyarakat.
E. Luaran Penelitian
Luaran penelitian ini adalah prosiding
F. Kerangka Teori
Teori Strukturalisme
Tokoh sentralnya : Levi Strauss
Bahasa merupakan realitas Sosial
Prinsip dasar struktur dalam teori Levi-Strauss adalah bahwa struktur sosial tidak berkaitan dengan realitas empiris (pengalaman), melainkan dengan model-model yang dibangun menurut realitas empiris tersebut. Menurut Levi-Strauss, ada empat syarat model agar terbentuk sebuah struktur sosial yaitu:
1. Sebuah struktur menawarkan sebuah karakter sistem. Struktur terdiri atas elemen-elemen yang salah satunya akan menyeret modifikasi seluruh elemen lainnya.
2. Seluruh model termasuk dalam sebuah kelompok transformasi, di mana masing-masing berhubungan dengan sebuah model dari keluarga yang sama, sehingga seluruh transformasi ini membentuk sekelompok model.
3. Sifat-sifat yang telah ditunjukan sebelumnya tadi memungkinkan kita untuk memperkirakan dengan cara apa model akan beraksi menyangkut modifikasi salah satu dari sekian elemennya.
4. Model itu harus dibangun dengan cara sedemikian rupa sehingga keberfungsiannya bisa bertanggung jawab atas semua kejadian yang diobservasi.
Teori Hermeneutika
Tokoh sentralnya : Hans Georg Gadamer
Konsep Gadamer tersebut menjelaskan tentang, pertama peribahasa tersebut
menjelaskan sebuah realitas pengalaman, pemikiran dan pemahaman Orang Dayak
Tobag dengan tradisi dan spiritualnya
dengan Penciptanya dan lingkungan sosialnya. Oleh karena itu, bahasa merupakan
pengejawantahan realitas manusia dalam hubungannya dengan Penciptanya dan
dengan manusia yang lain.
Kedua, kata-kata yang tertuang dalam peribahasa adat tersebut merupakan bahasa yang dilihat sebagai sebuah pengalaman dunia. Oleh karenanya bahasa kebahasaan melampaui segala relativitas dan hubungan dimana berbagai realitas berada.
Dengan demikian, bahasa bukan dilihat sebagai sesuatu yang
melengkapi manusia, akan tetapi menyatakan bahwa dengan bahasa, manusia mempunyai dunia dan aspek-aspek dunia
terungkap melalui bahasa. Maka dengan bahasa menciptakan kemungkinan manusia
yang mempunyai dunia, dan hanya manusia yang mempunyai dunia.
Ketiga, bahasa memiliki struktur
intrinsik spekulatif. Bahasa merupakan proses penyingkapan, proses ‘das sein’
yang membahasa, yakni termanifestasi dalam bahasa. Proses transformasi ‘das
sein’ dalam bahasa tidak mengenal berhenti, bahasa adalah hidup sehingga bahasa
senantiasa membiarkan sesuatu untuk mengungkapkan diri.
Ke-empat, bahasa pusat
hermeneutika (menafsirkan, memberi pemahaman, atau menerjemahkan). Dalam hal ini bahasa dilihat sebagai media komunikasi dimana
‘aku’ dan ‘dunia’ bersama-sama tercover didalamnya. Hal ini sebagaimana
dijelaskan oleh Gadamer “...filsafat hermeneutika memahami dirinya sendiri
bukan sebagai posisi mutlak sebuah pengalaman, melainkan sebagai jalan
pengalaman itu. Hal ini menegaskan bahwa tidak terdapat prinsip yang lebih
tinggi daripada mengusahakan diri tetap terbuka untuk berbicara dengan orang
lain”.
Peribahasa adat yang tertuang
dalam pepatah adat “Tabe kak Jebata Pejaji Penompa, Togoh Adat suet Sungu”,
merupakan pepatah menunjuk kepada sebuah
realitas sosial yang merupakan ide untuk menjelaskan tentang suatu makna
tertentu dari rumpun suku Dayak Tobag,
menceritakan suatu hal tertentu tentang suatu etika hidup dalam suatu
pergaulan di masyarakat sekaligus juga menggambarkan suatu realitas sosial yang
tertuang dalam suatu kata-kata yang dipelajari dan diwariskan.
G. Metode Penelitian
Metode empirik dengan pendekatan fenomenoligis dengan varian hermeneutik,
yakni mempelajari suatu kebenaran yang
ditinjau, baik dari aspek objektivitas
maupun subyektivitasnya, dan juga disertai dengan analisis guna menarik suatu
kesimpulan. Sedangkan penggumpulan data melalui, wawancara, observasi dan studi
literatur.
H. Pembahasan/Temuan Lapangan
1)
Struktur
matapencaharian masyarakat Dayak Tobag
2)
Sistem
kepercayaan
3)
Tabu
dalam sistem Kepercayaan Orang Dayak Tobag
4)
Ucapan
Syukur sebagai Makna Religiositas
Tertinggi
5)
Trilogi
Kehidupan Orang Dayak
6)
Konsep
Tabe (memberi hormat) pada rumpun Suku Dayak Tobag
Kesimpulan :
1) Adanya
kesadaran akan konsep ‘tabe’ (permisi/memberi hormat) dalam kehidupan
masyarakat Dayak Tobag untuk
dipraktekkan dalam lingkungan keluarga dan komunitas adat.
2) Penguatan
'tabe' dalam kelembagaan formal melalui semboyan adat. Kata “tabe” memiliki dua
dimensi, yakni demensi horisontal dan dimensi vertikal.
3) Penggunaan
semboyan adat dalam kegiatan adat dan kemasyarakatan dalam lingkup komunitas
adat.
4) Bahwa
‘tabe’ menjadi acuan dan pedoman dalam
masyarakat untuk membentuk Orang Dayak Tobag untuk menjadi ‘tau’, yakni
‘tau basa’ (tahu sopan-santun), ‘tau adat’ (mengerti adat-istiadat) dan ‘tau
malu’ (tahu malu) melalui reorientasi nilai.
Oleh : Salfius Seko, S.H., M.H
Note : Kata-kata adopsi diartikan dalam kurung adalah tambahan redaksi yang di ambil dari Google untuk memudahkan pembaca yang di kampung-kampung dalam memahami penulisan oleh penulis.
Comments